Loading...
Selasa, 02 Juli 2013

Negara Tetangga Incar Jual Baju Bordir Tasikmalaya


jual baju bordir
Jual baju bordir atau penjualan baju bordir senantiasa diupayakan para perajin dengan memperhatikan kualitas hasil produksi. Namun demikian, penjualan atau jual baju bordir di masa depan menghadapi persaingan yang cukup ketat.

Dari hasil penelusuran penulis beberapa waktu lalu, terdapat fakta bahwa setelah munculnya perjanjian ASEAN China Free Trade Agrement (ACFTA), sejumlah pengrajin bordir di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya merasa was-was, karena mereka bukan takut bersaing dengan produk dari negara Tirai Bambu, melainkan takut kalah bersaing dengan negara tetangga (Malaysia).

Sebenarnya, hasil produksi bordir itu hampir kebanyakan dihasilkan para pengrajin bordir asal Tasikmalaya, yang kemudian dieksport ke negara tetangga, dan oleh negara tetangga selanjutnya disekport kembali ke Timur Tengah.

Saat ini, para pengusaha negara tetangga bukan hanya membeli produk bordir dalam jumlah banyak dari Tasikmalaya, tapi juga sudah berani memberikan atau menitipkan merk dan bahan khusus kepada para pengrajin untuk dibuat di Tasikmalaya, selanjutnya negara tetangga menerima bahan jadi. Sekitar 60 persen produksi bordir asal Tasikmalaya masuk negara tetangga, dalam jumlah yang lumayan besar.

Sepertinya para pengrajin saat ini hanya bisa "ngamaklun" atau menjadi buruh saja. Sementara keuntungan terbesar diambil oleh negeri jiran, termasuk devisa buat negera juga lebih besar diambil oleh mereka. "Dalam sebulan kita mengirim barang ke negeri jiran sekitar 2000 kodi, hal itu merupakan jumlah yang cukup banyak. Kita takut produk yang kita buat, malah diklaim oleh mereka," cerita Ketua Koperasi Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya (Gapebta) Tasikmalaya, Asep Ridwan suatu hari.

Para perajin sudah merasakan bahwa Tasikmalaya punya cerita, dan negara lain mempunyai nama. Bahkan jumlah eksport bordir ke Timur Tengah lebih banyak dari negara tetangga, bila dibandingkan dengan dari Indonesia.

Padahal jika melihat jumlah pengrajin bordirnya lebih banyak di Indonesia, dibandingkan dengan di negara tetangga. Kekhawatiran yang dirasakan para pengrajin cukup beralasan, meskipun para pengrajin sudah bisa menembus pasar dunia, yakni melakukan ekspor ke luar negri, tapi ternyata pembayaran yang diterima perajin masih dalam bentuk rupiah.

"Jelas, kita para pengrajin, belum merasa sudah bisa menembus pasaran eksport. Karena harga yang kita terima tetap menggunakan rupiah bukan dengan mata uang asing. Jadi keuntungan yang kita peroleh sama saja tidak ada lebihnya," kata Asep.

Sekretaris Koperasi Gapebta, Isep Rislia waktu itu mengatakan pula, dalam persoalan Bordir, di Indonesia khususnya Tasikmalaya belum ada eksportir besar, sehingga peluang bordir di klaim oleh negara lain cukup besar. "Para pengrajin kebanyakan cukup puas dengan terjualnya barang yang mereka produksi, tanpa lagi memikirkan merk dan branding. Yang penting laku dijual," kata Isep. Namun jika dilihat dari segi keuntungan yang diperoleh, pengusaha negeri jiran dengan Indonesia, khususnya Tasikmalaya, lebih besar negeri jiran.

Negara tetangga bisa menembus ekspor ke mana saja termasuk Timur Tengah. Sementara Indonesia eksport terbesar hanya dilakukan ke negeri jiran itupun dengan nilai rupiah. Untuk persoalan tersebut, Asep Ridwan dan Isep minta, agar pemerintah jangan tinggal diam dan perlu adanya persiapan politis, jangan sampai produk yang kita buat malah dipatenkan oleh negara lain.

Sementara itu, sentral bordir di Indonesia saat ini baru ada di daerah yakni Tasikmalaya dan Bukittinggi Sumatera. Bagi para pengusaha yaitu Yadin Rusmin, pengusaha bordir "Raisa Collection" di Kampung Lewosari Kelurahan Bantarsari Kec. Bungursari, Yusup MHG pengusaha bordir "RAAI Collection" asal Leuwianyar Cipedes, dan H Dedi Warso S Sos pengusaha bordir "Ghesa Colection" asal Kampung Babakankupa Desa Karangmekar Kec. Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya, pengaruh dari negera tirai bambu sudah mulai terasa.

"Buktinya, kalau kita membeli bahan baku dari mereka itu harganya mahal sekali, bila dibandingkan dengan membeli bahan jadi, yang harganya lebih murah dari bahan baku tadi. Padahal kita sebagai pengrajin sangat memerlukan sekali bahan baku berupa bahan dari kain. Aneh kan, bahan baku lebih mahal harganya dari bahan jadi," kilah Yadin Rusmin waktu lalu.

Sementara itu, pengusaha bordir Sollu Citra Muslim, milik H Deden Hoerul Basjhor, DHB mengungkapkan, saat ini kendala yang dihadapi perusahaannya yaitu modal makin besar, sedangkan keuntungan semakin tipis, karena persaingan yang semakin berat.

Haji Wawan dari sentra bordir Tjiwulan mengatakan, pihaknya optimis dengan adanya niat ikhlas, tulus, rajin, ulet, tekun, berpikir ke depan, berpikir maslahat, dunia dan akhirat. Insya Allah Tasikmalaya bisa mempunyai andalan terbaru dengan bordirnya.

"Selanjutnya dari sisi personal, ada yang jadi tukang bordir, jadi pekerja, ada yang jadi sebagai pengepul, maklun, ada juga sebagai ya maklun dan ya nyetok (menyimpan stock, red) sebagai pengusaha. Tapi, hal itu perlu pembenahan. Kemudian permasalahan dari segi mesin yang digunakan, ada mesin manual (mesin kejek), mesin juki semi otomatat, dan ada mesin otomat yang betul-betul komputerisasi. Nah, ini juga semuanya perlu ada pembenahan, khusus produksi bordir dari hasil mesin kejek. Di pasar dunia internasional, begitu juga bagi orang menengah ke atas di Indonesia, hasil produksi bordir dari mesin kejek itu tidak ada hentinya," kata H Wawan.

Kalau Jawa Barat mempunyai 10.000 pengrajin dengan menggunakan mesin kejek itu akan hujan dollar. Pasar kita di Australia, Amerika, dan Jepang, semua itu pasar untuk kita dan sedang menunggu. Selanjutnya, bagaimana antara pengusaha dan pekerjanya supaya berjalan dengan baik, supaya barokah. Juga, bagaimana pemasarannya.

Sektor pemasaran itu kalau digeluti oleh yayasan, bordir itu Insya Allah akan barokah. Sekretaris Gapebta, Isep mengatakan, pihaknya kini mewadahi para pengusaha bordir yang ada di Tanah Abang Jakarta. Hingga saat ini pihaknya sudah bisa memfasilitasi para pengusaha bordir Tasikmalaya dengan memiliki tempat untuk mengelola 500 unit hasil produksi bordir.

Isep mengharapkan, agar untuk upaya pemasaran, pemerintah bisa memfasilitasinya, baik dalam negeri, maupun luar negeri. Begitupun pemasara ke luar negeri bisa langsung berhubungan dengan pembeli, tidak seperti sekarang melalui eksportir.

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP